Banyak alasan mengapa perceraian terjadi. Seperti kekerasan dalam rumah tangga hingga perselingkuhan. Namun, bisakah pasangan yang banyak utang menjadi alasan perceraian?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik's Advocate. Berikut pertanyaan selengkapnya:
Ada beberapa pertanyaan mohon bantuan nasihatnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perusahaan suami memiliki utang kepada beberapa rekanannya maupun pada mandor dan pekerja. Apakah utang perusahaan tersebut istri dan anak anak juga turut bertanggung jawab jika suami istri bercerai?
Sementara, istri dan anak-anak sama sekali tidak dilibatkan dalam pengelolaan perusahaan hingga proses utang-utang tersebut. Istri tersebut bekerja dan hasil pekerjaannya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan sang suami juga sudah lama tidak memberikan nafkah serta sudah pisah rumah beberapa bulan. Namun para debitur sering menanyakan bahkan mendatangi rumah untuk menanyakan keberadaan suami (mengganggu).
Dengan alasan tersebut apakah bisa jadi alasan perceraian?
Namun suami belum bisa daftar ke pengadilan karena alasan menunggu ada uang dulu.Dan bagaimana dengan hak atas dua anak yang telah dewasa? (sulung perempuan sudah berusia 22 tahun masih single, bungsu laki laki berusia 21 tajun masih single dan kuliah)
Mohon nama saya disamarkan.
Untuk menjawab pertanyaan pembaca detik's Advocate di atas, kami meminta pendapat advokat Yudhi Ongkowijaya SH MH. Berikut penjelasan lengkapnya:
Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan. Kami akan coba membantu untuk menjawabnya.
Kami kurang cukup mendapatkan gambaran mengenai kedudukan suami Saudari di perusahaan, apakah sebagai direktur atau komisaris ataukah sebagai pemegang saham saja. Untuk itu, kami mengasumsikan yang dimaksud dengan perusahaan tersebut adalah berbentuk perseroan terbatas (PT) dan suami Saudari selaku pemiliknya (pemegang saham).
Suatu PT mempunyai kekayaan yang terpisah dari aset pribadi para pemegang sahamnya. Apabila terjadi kerugian maupun bahkan kebangkrutan, maka yang menjadi kewajiban pemegang saham hanya harta kekayaan PT saja sejumlah kepemilikan saham.
Dalam kondisi tertentu, dimungkinkan misalnya jika sebuah PT hendak mengajukan kredit kepada bank dengan jaminan aset perusahaan namun nilai aset tersebut tidak mencukupi, maka perlu dilakukan pengikatan kepada aset pribadi pihak ketiga (direktur/komisaris/pemegang saham) atau dikenal dengan nama Jaminan Perorangan (Personal Guarantee).
Dalam buku "Hukum Jaminan" (UII Press, 2017) karangan Riky Rustam, halaman 79, yang dimaksud dengan Jaminan Perorangan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini tidak memenuhinya. Namun dengan catatan, yaitu apabila orang yang memberikan jaminan aset pribadinya tersebut ikut menandatangani dokumen Personal Guarantee. Oleh karena itu, utang PT tidak bisa dikaitkan dengan harta kekayaan pribadi direktur/komisaris/pemegang saham selama tidak ada Personal Guarantee dari yang bersangkutan.
Dalam situasi yang demikian, maka Saudari sebagai istri tidak akan terseret-seret atas kewajiban utang perusahaan suami, terlebih apabila antara Saudari dengan suami terdapat Perjanjian Perkawinan/Perjanjian Pisah Harta. Pun misalnya segala harta atau aset yang diperoleh selama masa perkawinan merupakan harta bersama (harta gono gini), hal itu tetap tidak bisa menarik harta kekayaan pribadi suami sepanjang tidak pernah ada dokumen Personal Guarantee yang ditandatangani oleh suami Saudari.
Selain itu, setiap perbuatan hukum atas harta bersama harus mendapatkan persetujuan suami istri, sebagaimana ketentuan Pasal 36 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU 1/1974), yang menyatakan bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak. Artinya, penggunaan harta bersama harus dilakukan atas persetujuan bersama suami istri, kecuali bila ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan. Jika suami Saudari melakukan perbuatan hukum yang ada kaitannya dengan harta bersama tanpa persetujuan Saudari selaku istrinya yang sah, maka perbuatan tersebut menjadi cacat hukum dan dapat dibatalkan.
Sehubungan dengan kondisi rumah tangga Saudari saat ini yang mengalami permasalahan yang mungkin bisa berakibat kepada perpisahan, pada dasarnya persoalan ekonomi tidak bisa dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan perceraian. Namun demikian, apabila permasalahan tersebut berlarut-larut menyebabkan percekcokan yang tidak berkesudahan di antara Saudari dan suami, maka dapat menjadi salah satu alasan untuk menggugat cerai. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 19 Huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang menyatakan:
"Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
f. antara suami-istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga"
Terkait dengan kewajiban nafkah kepada anak-anak yang harus menerima akibat perceraian orang tuanya, hal ini diatur di dalam ketentuan Pasal 41 UU 1/1974, yang pada pokoknya mengatur bahwa baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, dan bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Akan tetapi, ketentuan pasal di atas hanya berlaku bagi anak-anak di bawah umur yang dianggap belum dewasa menurut hukum. Sebagaimana pertanyaan Saudari, anak-anak hasil perkawinan Saudari dan suami saat ini sudah berusia 22 dan 21 tahun hal mana sudah memenuhi usia dewasa menurut hukum, sehingga menurut kami tidak wajib untuk dinafkahi apabila terjadi perceraian diantara orang tuanya.
Demikian jawaban dari kami, semoga dapat bermanfaat. Salam.
Yudhi Ongkowijaya, S.H., M.H.Partner pada Law Office ELMA & Partnerswww.lawofficeelma.com
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: [email protected] dan di-cc ke-email: [email protected]
Kami harap pembaca mengajukan pertanyaan dengan detail, runutan kronologi apa yang dialami. Semakin baik bila dilampirkan sejumlah alat bukti untuk mendukung permasalahan Anda.
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
Lihat juga Video: Gegara Utang, Rumah Warga di Surabaya Dilempari Batu
[Gambas:Video 20detik]
Seorang pria bernama Walter Hunt punya kisah unik. Dia malah menjadi kaya mendadak setelah terlilit utang cukup besar. Begini kisahnya.
Hunt adalah seorang ilmuwan Amerika Serikat (AS). Karena terlilit utang yang cukup besar, Hunt malah mendapat ide penemuan menarik dan bisa membawanya jadi orang kaya.
Dilansir detikFinance dari situs Today I Found Out, Jumat (6/10/2023), cerita bermula saat Walter Hunt memiliki utang sebesar US$ 15 (saat ini diperkirakan senilai US$ 422 atau Rp 6,58 juta bila dihitung dalam kurs Rp 15.600/dolar AS) kepada salah seorang juru gambar bernama J.R Chapin. Tidak dijelaskan secara rinci sejak kapan utang itu dimiliki Hunt.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hunt yang tinggal dan bekerja di New York merupakan seorang ilmuwan yang super sibuk. Sepanjang tahun 1800-an, dia banyak menciptakan berbagai macam temuan mulai dari pena, mesin pemecah es, mesin penyortir surat, hingga senjata api dan banyak lainnya.
Bahkan pada 1834, ia berhasil menciptakan mesin jahit pertama di dunia. Namun, dikatakan bila sang putri membujuk Hunt untuk tidak mengkomersialkan alat tersebut karena hal itu dianggap dapat menyebabkan pengangguran besar-besaran di kalangan penjahit.
Sedangkan J.R Chapin sendiri merupakan seorang juru gambar yang biasa membuatkan ilustrasi penemuan Hunt untuk kemudian bisa dipatenkan. Hingga akhirnya di suatu waktu, pada 1849 Chapin pun menagih uang jasa menggambar kepada Hunt.
Karena tidak memiliki uang, saat itu Hunt sempat duduk termenung memikirkan bagaimana cara untuk membayar utang tersebut. Di tengah desakan dan rasa frustrasi tersebut, Hunt tiba-tiba mengambil sebatang kawat yang kemudian dipelintir hingga menjadi semacam penjepit.
Penjepit itulah yang kini disebut safety pin atau yang lebih kita kenal sebagai peniti. Dikatakan hanya butuh waktu 3 jam baginya untuk terpikirkan dan menciptakan temuan barunya itu.
Setelahnya ia segera mematenkan temuan barunya itu. Tepat pada 10 April 1849, pria asal new York itu menerima hak paten safety pin atau peniti pertama di dunia dengan nomor U.S. Patent No. 6,281.
Setelahnya Hunt segera menjual hak paten tersebut itu kepada sebuah perusahaan besar di negaranya, W.R Grace and Company. Saat itu Hunt menjual hak paten peniti ini dengan nilai sebesar US$ 400 atau sekitar US$ 11.000 (Rp 171,6 juta) dengan nilai saat ini.
Setelah mendapat uang, dia pun mendadak kaya raya dan langsung melunasi utangnya kepada Chapin. Hidupnya pun seketika membaik. Meski begitu, penjualan hak paten ini banyak dinilai merupakan salah satu kesalahan paling besar yang pernah dilakukannya.
Sebab ketika diproduksi secara massal, peniti buatannya laris-manis di pasaran. Bahkan perusahaan yang saat ini memproduksi peniti ini dapat meraup keuntungan hingga jutaan dolar. Di abad ke-18, uang sebesar itu memiliki nilai yang sangatlah besar.
Artikel asli pada laman ini telah tayang di detikFinance. Baca selengkapnya di sini!
Kirim masukan terkait...
Pusat Bantuan Penelusuran
Bisnis.com, JAKARTA — Generasi muda perlu membatasi diri dalam hal berutang melalui platform digital, baik berkaitan layanan bayar tunda (paylater) maupun pinjaman online (pinjol) dana tunai, sebab akan mengganggu kesehatan mental apabila berlebihan.
Psikolog Adityana Kasandra Putranto mengamini bahwa utang yang menumpuk biasanya menyebabkan tekanan finansial yang luar biasa dan menjadi beban emosional yang berat bagi seseorang.
Terlebih, saat ini kebanyakan anak muda menggunakan lebih dari satu layanan pinjam-meminjam digital dalam gawainya. Dia menilai utang menumpuk biasanya disebabkan tidak cermat dengan biaya layanan dan bunga sehingga total utang melebihi kemampuan, telat bayar sehingga terjerat biaya denda jumbo, atau karena terperangkap praktik gali lubang tutup lubang.
Berdasarkan studi Katherine M. Ingram dan Ronda C. Talley (2007), utang yang signifikan dan tidak terkendali semacam itu dapat menghasilkan situasi di mana seseorang merasa frustasi karena tidak mampu mengatasi beban hidup dari sisi finansial.
"Beban keuangan yang berkepanjangan dapat menyebabkan perasaan putus asa, kehilangan harapan, dan gangguan mental yang serius, seperti depresi dan kecemasan. Bahkan, tekanan finansial dan rasa malu akibat utang menjadi beberapa alasan utama penyebab bunuh diri akibat frustasi," jelas Kasandra kepada Bisnis, Senin (2/10/2023).
Apabila seseorang telanjur memiliki utang pinjol menumpuk, Kasandra menyarankan agar jangan malu membuka komunikasi dengan keluarga atau orang-orang terdekat.
"Jangan terlalu khawatir dengan stigma atau cap orang lain yang biasanya menganggap seseorang yang terjerat utang artinya tidak mampu mengelola keuangan dengan baik.
Pasalnya, rasa frustasi karena tidak mampu bayar utang biasanya bersumber dari rasa ketidakmampuan untuk terhubung secara sosial dengan orang lain, merasa terisolasi, dan merasa tidak mampu mengatasi situasi hidup, sehingga menyebabkan beban emosional yang berlebihan.
"Penting untuk mengakui dan menerima situasi tersebut tanpa menyalahkan diri sendiri. Mempertahankan komunikasi terbuka dalam keluarga akan membantu anggota keluarga merasa nyaman dalam berbagi perasaan dan kesulitan mereka," tambahnya.
Kasandra juga menyarankan korban pinjol segera membuat rencana keuangan yang terperinci bersama orang kepercayaan terdekat, sebagai langkah awal agar tidak terjebak situasi frustasi.
Menurutnya, mengatur rencana keuangan yang jelas dapat memberikan rasa kontrol dan mengurangi kecemasan berlebih.
Berikutnya, mulai identifikasi seluruh pinjaman yang harus dibayar, buat rencana anggaran bulanan yang realistis untuk mencicil, dan buat daftar prioritas pembayaran apabila terdapat utang di lebih dari satu platform digital.
Selain itu, cari tahu apakah ada opsi restrukturisasi utang atau negosiasi dengan setiap pemberi pinjaman. Jangan malu untuk berdiskusi dan mengakui kesalahan, ketimbang utang semakin menggunung karena akumulasi biaya denda semakin jumbo.
Terakhir, Kasandra menyarankan agar keluarga korban jeratan utang pinjol dapat berperan memberikan dukungan emosional, memberikan nasihat finansial yang bijaksana, dan membantu mencari solusi kreatif untuk mengatasi utang.
"Keluarga juga dapat berperan dalam memberikan pengawasan dan membantu menjaga individu tersebut agar tetap disiplin dalam menjalankan rencana keuangan, terutama dalam membayar utangnya," tutup Kasandra.
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Bidang Hubungan Masyarakat Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengatakan, mereka sudah mendapat list nama-nama pemain judi online dari PPATK.
Kalau nama-nama tersebut menjadi pengguna atau user salah satu anggota AFPI, mereka masuk dalam user high risk.
"Kalau dari fintech, kami sudah dapat list dari OJK yang list nama-nama yang dari PPATK," ujar Kus usai Deklarasi Pemberantasan Judi Online di Kantor Kominfo, Rabu (28/8/2024).
"Kalau itu kemudian menjadi user kami, menjadi pengguna di suatu platform, platform itu tentu user masuk ke high risk, kalau mengajukan [pinjam dana] lagi itu nggak mungkin, pasti ditolak," imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, OJK mengatakan, bukan bank yang sering menjadi media untuk topup judi online. OJK menyebut, posisi pertama ditempati aplikasi, lalu ada agregator yang mempromosikan judi online.
Lalu ada payment gateway seperti OVO, Dana, dan lainnnya. Baru kemudian perbankan yang digunakan untuk top-up judi online.
"Mereka simpan dana di perbankan, nah yang disikat di perbakan ini kalau OJK. Kalau yang di payment gateway dari BI," ujar Deputi Komisioner Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan Pelindungan Konsumen OJK Rizal Ramadhani.
Saksikan video di bawah ini:
Mangkir Bayar Utang Bisa Dipidana? Begini Penjelasan Hukumnya
Mangkir Bayar Utang Bisa Dipidana? Begini Penjelasan Hukumnya
Ada pengecualian di mana perkara perdata, seperti uang piutang dapat dituntut secara pidana, namun harus memenuhi beberapa unsur yang diatur dalam Pasal 378 KUHP.
Kegiatan pinjam meminjam, atau utang piutang merupakan hal lumrah dalam sebuah kegiatan ekonomi. Utang piutang ini biasanya dituangkan dalam sebuah perjanjian antar kedua belah pihak, yang didalamnya memuat mekanisme pembayaran utang, tenor, bunga, dan langkah yang ditempuh jika salah satu pihak gagal menunaikan kewajiban (wanprestasi).
Dalam dunia bisnis, kegagalan debitur dalam membayar utang sering ditemukan ketika usaha tidak berjalan dengan baik dan mengalami kesulitan keuangan. Hal ini biasa terjadi dalam perjanjian utang piutang antara debitur dan kreditur (bank). Namun perjanjian utang piutang juga bisa dilakukan oleh orang pribadi dengan orang pribadi lainnya.
Bagaimana jika salah satu pihak mangkir dalam perjanjian utang piutang atau tidak mampu membayar utang sebagaimana diatur kedua belah pihak dalam perjanjian? Apakah pihak yang mangkir bisa dilaporkan ke pihak kepolisian atau dipidana?
Dikutip dalam Klinik Hukumonline dengan judul “Bisakah Orang yang Tidak Membayar Utang Dipidana?”, pada dasarnya tak ada ketentuan yang melarang seseorang untuk melaporkan orang yang tidak membayar utang ke pihak kepolisian. Membuat laporan atau pengaduan ke polisi adalah hak semua orang, namun belum tentu perkara tersebut dapat naik ke proses peradilan.
Akan tetapi dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah mengatur bahwa sengketa utang piutang tidak boleh dipidana penjara. “Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang,” demikian bunyi Pasal 19 ayat (2).
Jika merujuk Pasal 19 ayat (2), walaupun ada laporan yang masuk ke pihak kepolisian terkait sengketa utang piutang, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang. (Baca Juga: Tips Menghindari Pejabat Notaris dan PPAT Bodong)
Maka di sinilah peran dan integritas penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat sangat diharapkan untuk tidak merusak sistem peradilan yang ada atau dengan memidanakan suatu perbuatan hukum perdata.
Ada pengecualian di mana perkara perdata, seperti uang piutang dapat dituntut secara pidana, namun harus memenuhi beberapa unsur yang diatur dalam Pasal 378 KUHP.
Untuk diketahui hukum perjanjian adalah suatu perbuatan hukum perdata diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Dalam KUHPer terjemahan Prof. Subekti, perjanjian didefenisikan “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Secara khusus, mengenai perjanjian utang-piutang sebagai perbuatan pinjam-meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, ada empat syarat (kumulatif) yang diperlukan agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal.
Namun demikian dalam praktiknya, beberapa sengketa utang piutang yang tidak dapat diselesaikan secara musyarawarah justru malah dilaporkan ke pihak kepolisian dengan dasar Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penggelapan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
Padahal substansi dari tindak pidana penggelapan dan tindak pidana penipuan adalah jelas berbeda dari suatu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum perdata. Untuk dapat diproses secara pidana, harus ada perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea) dalam terpenuhinya unsur-unsur pasal pidana tersebut.
Akan tetapi, ada pengecualian dalam hal pembayaran utang menggunakan cek (cheque) yang kosong atau tidak ada dananya. Pasca ditariknya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong yang menimbulkan keengganan orang dalam menarik cek, maka pembayaran dengan cek kosong langsung direferensikan ke Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, yang telah menjadi Yurisprudensi Mahkamah Agung No 1036K/PID/1989 yang berbunyi: “bahwa sejak semula terdakwa telah dengan sadar mengetahui bahwa cek-cek yang diberikan kepada saksi korban adalah tidak didukung oleh dana atau dikenal sebagai cek kosong, sehingga dengan demikian tuduhan "penipuan" harus dianggap terbukti.”
Advokat Alvin Sulaiman menjelaskan perihal kemungkinan sengketa utang piutang bisa berakhir di ranah pidana. Menurutnya, perkara perdata berupa wanpretasi dapat dilaporkan pidana dengan memenuhi beberapa unsur, yakni apabila perjanjian telah dibuat dengan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk yang timbul dari adanya perjanjian yang dibuat oleh satu orang atau lebih dengan satu orang atau lebih lainnya (obligatoire overeenkomst). Wanprestasi dikategorikan ke dalam perbuatan-perbuatan sebagai berikut (Subekti, “Hukum Perjanjian”):
Ada pengecualian di mana perkara perdata, seperti uang piutang dapat dituntut secara pidana, namun harus memenuhi beberapa unsur yang diatur dalam Pasal 378 KUHP.
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Sedangkan, penipuan adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 378 KUHP pada Bab XXV tentang Perbuatan Curang (bedrog). Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Berdasarkan bunyi pasal di atas unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah: a. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum; b. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang; c. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)
“Unsur poin c di atas yaitu mengenai cara adalah unsur pokok delik yang harus dipenuhi untuk mengkategorikan suatu perbuatan dikatakan sebagai penipuan. Demikian sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990,” katanya dalam artikel Klinik Hukumonline mengenai “Apakah Kasus Wanprestasi Bisa Dilaporkan Jadi Penipuan?”
BATURAJA - Kecanduan judi slot, membuat Ryan Firdaus (33), terlilit utang dan butuh modal lagi untuk deposit. Oknum honorer itu kemudian mengaku sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Sekretariat DPRD OKU, untuk melancarkan aksi tipu sana sini. Modusnya, menjanjikan bisa masukkan bekerja sebagai tenaga pengamanan dalam (pamdal) atau sekuriti di Kantor DPRD OKU. Setidaknya sudah ada dua korban yang tertipu, membuat laporan polisi ke Polres OKU. Korban Ahmad Rifai (52), warga RS Sriwijaya, Kecamatan Baturaja Timur , mengalami kerugian Rp13 juta. Sedangkan korban Andry Firdaus (43), warga Jl KH Abdurahman, Kecamatan Baturaja Timur, juga merugi Rp13 juta. Kejadiannya Minggu (27/8).
Lantaran janji palsu dan uang tidak kembali, korban melaporkan Ryan ke polisi. Sehingga Tim Resmob Singa Ogan Polres OKU pimpinan Kanit Pidum Ipda Omi F SE, menciduk tersangka Ryan di rumah orang tuanya, Lr Dermawan, Kecamatan Baturaja Timur. Kasat Reskrim Polres OKU AKP Wanda Dhira Bernard SIK MSi, mengatakan barang bukti (BB) dari perkara ini, 2 kuitansi tanda terima uang Rp6 juta dan Rp7 juta dari korban Ahmad Rifai. “Sedangkan dari korban Andry Firdaus, kuitansi tanda terima uang Rp13 juta,” jelasnya.
Sekwan DPRD OKU Iwan Setiawan, ketika dikonfirmasi membantah status Ryan Firdaus sebagai PNS. Namun hanya tenaga honorer. "Posisinya tenaga honorer di bagian umum DPRD OKU," jelasnya, kemarin. (bis/air)